Boleh tukar emosi, ga?
Suatu pertanyaan yang sering diucapkan oleh banyak orang tanpa pikir panjang terhadap penanganan pada jawabannya kini menjadi topik gw kali ini. Ini tercetus pertama kali waktu lagi menikmati ice chocolate buatan bokap (sebenanarnya hot chocolate, tapi gw tambahin es batu) padahal hujan lagi berbaik hati dan mau turun ke Banyuwangi. Tanpa sengaja bokap nemuin satu serial sci-fi di channel yang terbilang belum terlalu lama. Serial ini bener-bener menarik, karena meskipun pemeran utamanya agen federal bagian pembunuhan, kasus yang mereka tangani tergolong terlalu fiksi, bahkan untuk genre sci-fi. Gw sendiri tergelitik untuk lagi-lagi menanyakan dalam diri sendiri, mungkinkah ini terjadi, bahkan dalam ruang lingkup psikologi? Karena topik utama dalam kasus itu adalah satu hal yang sangat umum ditemui layaknya koran bekas namun begitu kuat jika diperuntukkan dalam lahan klinis: "emosi."
Emosi sang pelaku yang begitu kuat, bisa menjadi sangat berpengaruh pada para korbannya, sehingga dia tidak perlu susah payah melakukan adu fisik untuk membunuh. Bahkan semua kasus didasari pada "sang korban melakukannya dengan arahan dari pelaku." Nah, fiksi banget kan? Jadi si pelaku punya semacam power untuk mengontrol korbannya membunuh diri mereka sendiri dengan satu macam senjata terhebat yang dia miliki: emosi. Dia bisa menularkan emosi yang dia miliki seperti virus, sehingga waktu dia merasa ingin membunuh dirinya, si korban juga akan mengalami emosi yang sama dan membunuh dirinya sendiri tanpa si pelaku turun tangan.
Memang ironis untuk pemilihan jalan cerita yang seharusnya bisa lebih rasional untuk santapan scientific, tapi dibalik semua kekuatan itu, ternyata ada eksperimen masa kecil dengan sebuah obat yang memicu semua ini. Ada juga berbagai paranoid yang seringkali bisa ditemukan untuk pasien scizofrenia, tapi semuanya jadi sangat kontras dengan bagaimana di pelaku sangat berkuasa untuk membunuh semua korbannya, yang cuma bisa kita dapati di genre murni fiction. Emang sempat terlintas nama Jasper Hale waktu gw liat serial ini. Tapi, ayolah, Jasper itu siapa, coba? Ckckckck......
Emosi menjadi suatu ruang lingkup yang sangat kuat dan berkuasa, bahkan menjadi senjata pembunuh di serial ini. Mungkin mereka memang ga takut dikritik habis-habisan sama pecinta sci-fi dan filsafah agung yang memuja emosi pada insan atau memang si penulis terlalu liar membebaskan imajinasinya, ya ga tau lagi, deh. Tapi sangat unik, gimana emosi disini dikatakan bisa menular bagaikan virus. Lalu gw pun teringat, ungkapan yang satu ini tidak bisa dikategorikan sebagai fiksi lagi. Ini adalah kenyataan, fakta, true story. Mungkin memang dalam skala yang jauh lebih kerdil dari serial itu, tapi manusia memang bisa barter emosi, tidak diragukan lagi.
Contoh paling mudah, senyum. Katanya, siapapun yang tersenyum kepada orang lain, orang lain yang disenyumi juga akan ikut tersenyum. Benarkah? Ya, gw uda sering coba itu. Bahkan hal itu jadi semacam siklus. Gw senyum, dia senyum karena gw senyumin, gw senyum karena dia ikut senyum sama gw. Dan bukan cuma aktivitas penarikan otot aja, emosi di balik senyuman itu, emosi-emosi positif yang membuat hidup terasa lebih baik meski 2 detik juga ikut tertular. Lalu, karena siklus ini terus berlangsung, 2 detik menjadi 4 detik, dan begitu seterusnya, malahan mungkin berlanjut ke tawa riang canda membahana..... Sebaliknya, senyuman terbalik atau cemberut juga bisa menular sama mudahnya dengan saudara kembarnya itu. Kalau ini sih gw juga sering mengalami. Tiba-tiba cuaca bisa menjadi lebih panas dari biasanya, dan kitapun kehilangan kontrol sama emosi sendiri. Pernah mengalami? Gw sering.
Lalu, gimana caranya nyebar? Melalui pengamatan gw selama ini, lewat mata. Lewat tatapan mata. Mata yang saling menatap ini bisa menjadi jembatan terbaik mengalahkan San Fransisco. Dari situ kita bisa tahu apa orang bohong, apa yang diinginkan orang, apa yang tidak terucapkan, apa perasaan mereka, menularkan nguap (ga tahu bahasa yang lebih formal), dan transfer atau barter emosi. Gw paling seneng memperhatikan tatapan mata pasangan kekasih, karena dari aktivitas yang tidak memerlukan banyak gerakan itu bisa terpancar seluruh kuatnya cinta mereka. Dan tentunya, emosi juga. Karena ini, gw sering menyendiri kalau hati uda mulai ga enak. Daripada tar gw nularin orang lain dan mereka ikutan marah, atau ketemu sama orang lain yang juga lagi ga enak hati, mending gw netralin hati dulu baru menerima pesan-pesan multidimensional lewat "jendela hati" milik orang lain itu.
Wow, manusia itu hebat kan?
Emosi sang pelaku yang begitu kuat, bisa menjadi sangat berpengaruh pada para korbannya, sehingga dia tidak perlu susah payah melakukan adu fisik untuk membunuh. Bahkan semua kasus didasari pada "sang korban melakukannya dengan arahan dari pelaku." Nah, fiksi banget kan? Jadi si pelaku punya semacam power untuk mengontrol korbannya membunuh diri mereka sendiri dengan satu macam senjata terhebat yang dia miliki: emosi. Dia bisa menularkan emosi yang dia miliki seperti virus, sehingga waktu dia merasa ingin membunuh dirinya, si korban juga akan mengalami emosi yang sama dan membunuh dirinya sendiri tanpa si pelaku turun tangan.
Memang ironis untuk pemilihan jalan cerita yang seharusnya bisa lebih rasional untuk santapan scientific, tapi dibalik semua kekuatan itu, ternyata ada eksperimen masa kecil dengan sebuah obat yang memicu semua ini. Ada juga berbagai paranoid yang seringkali bisa ditemukan untuk pasien scizofrenia, tapi semuanya jadi sangat kontras dengan bagaimana di pelaku sangat berkuasa untuk membunuh semua korbannya, yang cuma bisa kita dapati di genre murni fiction. Emang sempat terlintas nama Jasper Hale waktu gw liat serial ini. Tapi, ayolah, Jasper itu siapa, coba? Ckckckck......
Emosi menjadi suatu ruang lingkup yang sangat kuat dan berkuasa, bahkan menjadi senjata pembunuh di serial ini. Mungkin mereka memang ga takut dikritik habis-habisan sama pecinta sci-fi dan filsafah agung yang memuja emosi pada insan atau memang si penulis terlalu liar membebaskan imajinasinya, ya ga tau lagi, deh. Tapi sangat unik, gimana emosi disini dikatakan bisa menular bagaikan virus. Lalu gw pun teringat, ungkapan yang satu ini tidak bisa dikategorikan sebagai fiksi lagi. Ini adalah kenyataan, fakta, true story. Mungkin memang dalam skala yang jauh lebih kerdil dari serial itu, tapi manusia memang bisa barter emosi, tidak diragukan lagi.
Contoh paling mudah, senyum. Katanya, siapapun yang tersenyum kepada orang lain, orang lain yang disenyumi juga akan ikut tersenyum. Benarkah? Ya, gw uda sering coba itu. Bahkan hal itu jadi semacam siklus. Gw senyum, dia senyum karena gw senyumin, gw senyum karena dia ikut senyum sama gw. Dan bukan cuma aktivitas penarikan otot aja, emosi di balik senyuman itu, emosi-emosi positif yang membuat hidup terasa lebih baik meski 2 detik juga ikut tertular. Lalu, karena siklus ini terus berlangsung, 2 detik menjadi 4 detik, dan begitu seterusnya, malahan mungkin berlanjut ke tawa riang canda membahana..... Sebaliknya, senyuman terbalik atau cemberut juga bisa menular sama mudahnya dengan saudara kembarnya itu. Kalau ini sih gw juga sering mengalami. Tiba-tiba cuaca bisa menjadi lebih panas dari biasanya, dan kitapun kehilangan kontrol sama emosi sendiri. Pernah mengalami? Gw sering.
Lalu, gimana caranya nyebar? Melalui pengamatan gw selama ini, lewat mata. Lewat tatapan mata. Mata yang saling menatap ini bisa menjadi jembatan terbaik mengalahkan San Fransisco. Dari situ kita bisa tahu apa orang bohong, apa yang diinginkan orang, apa yang tidak terucapkan, apa perasaan mereka, menularkan nguap (ga tahu bahasa yang lebih formal), dan transfer atau barter emosi. Gw paling seneng memperhatikan tatapan mata pasangan kekasih, karena dari aktivitas yang tidak memerlukan banyak gerakan itu bisa terpancar seluruh kuatnya cinta mereka. Dan tentunya, emosi juga. Karena ini, gw sering menyendiri kalau hati uda mulai ga enak. Daripada tar gw nularin orang lain dan mereka ikutan marah, atau ketemu sama orang lain yang juga lagi ga enak hati, mending gw netralin hati dulu baru menerima pesan-pesan multidimensional lewat "jendela hati" milik orang lain itu.
Wow, manusia itu hebat kan?
yup!hebat!
ReplyDelete