Picik Emosi.
Karena
menyebut ‘merk’ memang tidak dibutuhkan, aku mencoba untuk meredamnya. Jadi entah
burung apa yang berbisik, bahwa pemicu 1 dan pemicu 2 menimbulkan percikan
dahsyat. Aku termangu, lalu berbisik dan memberikan senyuman paling normal. Sebenarnya?
Oh, aku tidak ingin membunuh. Gila, bahkan jika hal itu diperbolehkan, apa lagi
keasyikan di dunia ini? Semuanya akan sia-sia, segala perjuangan akan mencair
seperti mentega di wajan panas.
Lalu
semuanya mundur kembali. Kau pernah melihat sebuah film dimana aktornya
berjalan mundur? Lalu gelas yang pecah kembali utuh, dan air yang tumpah kembali
pada wadahnya. Ya, pada bulan-bulan yang hampir mirip, dua tahun lalu, episode
seperti ini pernah terjadi. Momen dimana depresi hanya sebuah perahu kecil di
badai laut terbesar. Tidak, bahkan depresi tidak bisa membendung seluruhnya. Aku
pernah dalam keadaan ini. Pemicunya beda, namun satu-satunya penetralisir saat
itu, kini berganti tema menjadi pemicu 1.
dia.
Sekarang
jelas. Keanehan-keanehan. Jernih dan bening. Segala pertanyaan bahwa manusia
memiliki level. Aku ada di puncak rantai bangsawan. dewi mungil bagi reruntuhan
awam yang paling kuno. Najis. Dan disini aku tahu pasti. Dunia ini terlalu
mungil untuk kemegahan jiwa si pengaduk rasa. Lalu ada dia. Datang dan pergi,
membunuh dan membangkitkan, mencumbu dan memperkosa. Sungguh, di batas ini,
kutuk dan berkat memiliki jantung yang sama.
Lalu
aku menulis, dan menulislah aku. Lagi dan lagi. Lagi dan lagi.
Comments
Post a Comment
jangan cuma dibaca...gmn menurutmu???